Jumat, 21 September 2012

Syarat, Tugas, Wewenang, Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Syarat Dalam Peradilan Militer


A. Syarat Menjadi Hakim di Peradilan Militer
Syarat untuk menjadi hakim militer, militer tinggi dan militer utama pada intinya sama, namun yang membedakan adalah pangkat terendah yang dijadikan sebagai standar minimumnya (UU no 31 tahun 1997: Bab II à pasal 18, 19, 20)
Pasal 18
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 19
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 20
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

B. Tugas dan Wewenang Hakim Peradilan Militer
Hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama yang selanjutnya disebut hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan (UU no 31 th. 1997: Bab I à pasal 9, dan 10)
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
 
Pengangkatan
Hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (UU no. 31 th. 1997: Bab II à pasal 21-22)
Pasal 21
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya, Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Hakim Militer/Hakim Militer Tinggi/Hakim Militer Utama yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
 
C. Pemberhentian Hakim Peradilan Militer
Pemberhentian hakim dilakukan secara terhormat dan tidak terhormat, diberhentikan secara hormat karena diantaranya adalah alih jabatan, atas permintaan sendiri dll. Sedangkan secara tidak terhormat diantaranya karena melakukan perbuatan tercela, dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana dll. hal ini dijelaskan dalam UU no. 31 th. 1997 pasal 21, 24, 25, 26, 27, dan 28)
Pasal 21
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 24
(1) Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih jabatan;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani masa pensiun; atau
e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 25
(1) Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan sesudah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pasal 26
Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 27
Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 28
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sabtu, 15 September 2012

Susunan Badan Peradilan Tingkat Pertama Dan Banding Dalam Peradilan Militer


Pengadilan di lingkungan peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama dan militer pertempuran (bab II pasal 12). Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi (bab II pasal 8 ayat (2)). Khusus pada peradilan militer, tidak menggunakan kata pengadilan, namun menggunakan mahkamah

A. Pengadilan Militer Tingkat Pertama
Dalam pengadilan militer terdapat dua jabatan struktural:
  • Ketua Pengadilan Militer terdapat dalam bab II Pasal 12-13  UU No 31 Tahun 1997
  • Wakil Ketua Mahkamah Militer terdapat dalam bab II Pasal 12-13  UU No 31 Tahun 1997
Jabatan fungsional
  • Hakim  Militer terdapat dalam terdapat dalam pasal 15, 16, 18, 21-28 UU No 31 Tahun 1997
  • Panitera terdapat dalam pasal 16, 29, 30, 31, 34-39 UU No 31 Tahun 1997

B. Pengadilan Militer Tingkat Banding
Jabatan struktural
  • Kepala Mahmilti (pasal 12-13 UU 31 tahun 1997)
  • Wakil ketua mahmilti (pasal 12-13 UU 31 tahun 1997)
Jabatan fungsional
  • Hakim Militer Tinggi (pasal 15, 16, 19, 21 s/d 28 UU 31 tahun 1997)
  • Penitera (pasal 16, 29, 30, 31, 34 s/d 39 UU 31 tahun 1997)
 

Rabu, 12 September 2012

Upaya Hukum Dalam Pengadilan Negeri


A. Upaya Hukum Biasa
1. Banding
Prosedur mengajukan permohonan banding
Diajukan  di Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang bersangkutan maupun kuasanya.
Panitera PN akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2. Kasasi
Prosedur mengajukan permohonan kasasi
  • Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
  • Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
  • Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
3. Verzet
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri yang diputus  Verstek.
Prosedur mengajukan verzet ,pasal 129 HIR/153 Rbg
  • Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri;
  • Bila memungkinkan di periksa oleh Majelis Hakim yang sama.
  • Pembuktian berdasakan SEMA No.9/1964, walaupun sebagai Pelawan bukan sbg Penggugat tapi tetap Terlawan sehingga yang membuktikan dulu adalah Terlawan/Penggugat asal.

B. Upaya Hukum Luar Biasa
1.    Peninjauan Kembali (PK)
Prosedur pengajuan peninjauan kembali
  • Peninjauan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
  • Membayar biaya perkara.
  • Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
  • Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
  • Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
  • Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
2.    Derden Verzet
Menurut ps. 1917 KUHPerdata : putusan hakim hanya mengikat para  pihak yang berperkara.
Ps. 378 Rv: Pihak ke-3 yang merasa dirugikan oleh putusan aquo dapat mengajukan perlawanan.
Ps.382 Rv bila perlawanan dikabulkan maka putusan tersebut. Direvisi sepanjang kerugian pihak ke-3 tersebu.
Perlawanan terhadap CB, RB dan Sita Eksekusi hrs diajukan Pemilik ke Pengadilan Negri yang secara nyata menyita (pasal. 195 (6) HIR, pasal.206 (6) Rbg).
Perlawanan tidak menunda Eksekusi, namun bila ada alasan yang essensil maka KPN harus menunda.

Selasa, 11 September 2012

Prosedur beracara dalam Peangadilan Negeri


Tata cara berperkara perdata melalui beberapa tahap antara lain:
Tahap pertama, menerima perkara
  1. Pengajukan (perkara) gugatan (pasal 118 HIR)
  2. Pembayaran panjar biaya perkara
  3. Pendaftaran perkara
  4. Penetapan majelis hakim
  5. Pengajuan panitera sidang
  6. Penetapan hari sidang (Pasal 122 HIR)
  7. Pemangilan pengugat dan tergugat
Tahapkedua memeriksa perkara (Pasal 372 HIR)
  1. Pemeriksaan pendahuluan
  2. Pembacaan gugatan
  3. Jawaban gugatan
  4. Replik
  5. Duplik
  6. Pembuktian (Pasal 137, 172 & 176 HIR)
Tahap ketiga menyelesaikan perkara (Pasal 178 HIR)
  1. Kesimpulan
  2. Putusan hakim
Tata cara perkara pidana melalui beberapa tahap antara lain:
Tahap pwertama penyelidikan perkara
  1.  Penerimaan laporan atau pengaduan
  2.  Melakukan tindakan pertama saat terjadi peristiwa (pasal 106, 111 KUHAP)
  3.  Menyuruh berhenti atau memeriksa tanda pengenal
  4.  Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 17, 20-31)
  5.  Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat-surat (Pasal 128-130, Pasal 41-42 KUHAP)
  6.  Mengambil sidik jari dan memotret
  7.  mengambil untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal )
  8.  Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan sehubungan dengan pemeriksaaan
  9.  Mengadakan penghentian penyelidikan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP)
  10.  Membuat Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 8 jo Pasal 118 jo Pasal 138)
  11.  Menyerahkan BAP (dari kepolisian kepada jaksa) (Pasal 8 (2))
  12.  Kejaksaan melakukan pemeriksaan BAP, dan memberikan penyelidikan lanjut
  13.  Kejaksaan menyerahkan BAP kepada pengadilan (Pasal 1 (7))
Tahap kedua yaitu penerimaan perkara yang terdiri dari:
  1. Penyerahan BAP pada panetra
  2. Pendaftaran perkara
  3. Penetapan Majelis Hakim
  4. Penunjukan panetra sidang
  5. Penetan hari sidang
  6. Pemangilan pihak
Tahap ketiga yaitu pemeriksaan perkara yang terdiri dari:
  1. Pembacaan gugatan
  2. Jawaban tergugat
  3. Replik
  4. Duplik
  5. Pembuktian (Pasal 183-202 KUHAP)
Tahap keempat penyelesaian perkara yang terdiri dari:
  1. Kesimpulan
  2. Putusan hakim

Senin, 10 September 2012

Sumber Hukum Peradilan Negeri


Sumber hukum formil adalah peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam beracara. Terdiri dari:
  • UU No. 14/1970, UU No.35/1999, UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
  • UU No. 14/1985, UU No. 5/2004 tentang MA
  • HIR & R. Bg
  • KUHAPer
  • KUHAP
  • UU No. 2/1989, UU No. 8/2004 tentang Peradilan Umum
  • Peraturan MA RI
  • Surat Edaran MA RI
  • Yurisprudensi MA RI
Sumber hukum materiil adalah peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan dalam memutus perkara. Terdiri dari:
  • KUHP
  • KUHPer
  • UU No. 2/1989 jo UU No. 8/2004 tentang Peradilan Umum
  • UU lain yang sesuai dengan ketetapan hukum positif

Minggu, 09 September 2012

Kekuasan Mutlak dan Relatif di Peradilan Negeri



Kekuasan Mutlak Peradilan Negeri diatur dalam Pasal 134 HIR
  • Kekuasaan mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan mengenai pemberian kekuasaan untuk mengadili. Contoh persoalan mengenai perdata umum dan pidana dalam hal mengadili adalah wewenang mutlak PN.
Sedangkan dalam kekuasan relatif Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR dan 17 BW
  • Kekuasaan relati mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan negeri serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat dan dalam kondisi tertentu dapat dipindahkan dengan alasan yang dibenarkan oleh UU.

Sabtu, 08 September 2012

Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Pengadilan Negeri

Pengangkatan hakim yaitu:    (pasal 16 ayat 1)
(1) Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pemberhentian Hakim ada 2 yaitu:
Untuk pemberhentian hakim diatur dalam pasal 16 ayat (1)
Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pemberhentian dengan hormat (pasal 19 ayat 1 & 2)
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
    a. permintaan sendiri;
    b. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
    c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi;
    d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.
 
Pemberhentian tidak hormat    (pasal 20 ayat 1)
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
    a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
    b. melakukan perbuatan tercela;
    c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
    d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
    e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Rabu, 05 September 2012

Asas Hukum Acara PTUN

Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Asas Hukum PTUN adalah:
  1. Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.
  2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
  3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)
  4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
  5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.
  6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).
  7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN).
  8. Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN).
  9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
  10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).
  11. Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

Selasa, 04 September 2012

Tujuan Peradilan Tata Usaha

Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yangyang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yangyang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan.
  • Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
  • Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
  • Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
  • Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
  • Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  • Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  • Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Senin, 03 September 2012

Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara

Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.

Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.

Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di IndonesiaPada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang berisi:

    Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
    Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

    Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
    Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
    Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.

Minggu, 02 September 2012

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

A. Pengertian PTUN
Menurut Rozali Abdullah, hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Tata Usaha Negara. Pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, Yaitu:
1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya peradilan dalam bentuk UU atau perturan lainnya.
2. Ketentuan prosedur berperkara diaturtersendiri masing-masing dalam bentuk UU atau bentuk peraturan lainnya.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk rakyat yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang terjadi antara badan atau kantor tata usaha negara dengan warga negara. PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya. Dalam hal ini, sengketa timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian PTUN ditujukan pula untuk melindungi rakyat dari tindakan-tindakan pemerintah yang tidak populis. Singkatnya, PTUN tidak hanya melindungi hak-hak tunggal saja, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara sebagai suatu masyarakat.

B.  Dasar hukum PTUN
Dasar peradilan dalam UUD 45 dapat ditemukan dalam pasal 24. Sebagai pelaksanaan dalam pasal 24 UUd 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman.kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut UU peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni:
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrative.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN.
c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPer.

Sabtu, 01 September 2012

Alasan dan Prosedur Permohonan PK dalam PA


Alasan permohonan PK
(pasal 67 bab IV UU no. 14 th 1985)
a.    apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.    apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.     apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.    apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.    apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.    apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Prosedur permohonan PK
    Permohonan PK diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara
    Dilakukan dalam waktu 180 sejak putusan atau penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 69 UU No. 5 tahun 2004)
    Pembayaran biaya perkara (Pasal 70 UU No. 45 tahun 2004, pasal 89 dan 90 UU No. 7 tahun 1989)
    Pembuatan akta PK dan pendaftaran
    Pemberitahuan kepada pihak lawan
    Pengajuan jawaban dari pihak lawan dalam tenggang waktu 30 hari
    Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari