Rabu, 29 Desember 2010

Prosedur Berperkara di Peradilan Agama

Langkah-langkah yang harus dilakukan penggugat:

1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).

2. Gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah:

a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

c. Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syariah, yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa pengadilan agama/mahkamah syariah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan agama/mahkamah syariah yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).

3. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo. Pasal 89 UU nomor 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.).

4. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syariah (Pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg.).


PROSES PENYELESAIAN PERKARA

1. Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syariah.

2. Penggugat dan tergugat dipangil oleh pengadilan agama/mahkamah syariah untuk menghadiri persidangan.

3. a. Tahapan persidangan:

1). Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

2). Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA nomor 2 tahun 2003).

3). Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dak kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian), tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 HIR, 158 R.Bg.).

b. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas gugatan tersebut sebagai berikut :

1). Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.

2). Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.

3). Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.

4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR, 196 R.Bg.).

5. Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang memutus perkara tersebut.

Minggu, 19 Desember 2010

Sumber Hukum Peradilan Agama

Sumber hukum adalah segala aturan perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mempunyai kekuatan hukum yang dapat dijadikan rujukan/patokan dalam lingkungan peradilan baik dalam Peradilan Umum maupun Peradilan Agama dalam memutuskan suatu perkara. Dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dijadikan rujukan dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan secara garis besar terbagi menjadi dua; yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil (hukum acara).
A. Hukum Materiil Peradilan Agama
Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan semua kaidah-kaidah hukum yang mengatur dalam Islam yang kemudian disebut dengan fiqh. Menurut perjalanan sejarah peradilan agama yang berjalan pada masa lalu mengalami pasang surut, hal ini disebabkan adanya pengaruh-pengaruh politik, pemerintahan dan ekonomi pada masa kolonial Belanda. Selain itu sumber hukum meteriil selama ini bukanlah hukum yang tertulis sebagaimana hukum positif, serta berserakan dalam berbagai kitab ulama karena dari segi sosiokultural banyak mengandung khilafiyah (perbedaan), sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum mengenai masalah yang sama antara daerah satu dengan yang lain. Sehingga untuk menengahi banyaknya perbedaan tersebut dikeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 tentang Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk sebagai patokan bersama. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Banyak terjadi perbedaan tentang keberadaan sumber hukum materiil Peradilan Agama yang tidak tertulis ini, untuk itu sesuai Surat Biro di atas ditetapkan 13 kitab fiqh Islam yang digunakan sebagai rujukan dalam memeriksa dan memutuskan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Meskipun demikian banyak yang berpendapat hukum positif adalah hukum yang harus tertulis, sehingga hal ini dilegalisasi oleh Ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini disahkan tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04 Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk menjembatani dua pendapat tersebut maka pada tanggal 02 Januari 1974 disahkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang merupakan titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum yang tertulis. Namun demikian masih banyak dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang tidak tertulis, sehingga banyak terjadinya perbedaan putusan di Peradilan Agama terhadap kasus dan masalah yang sama. Hal ini disebabkan pengambilan rujukan kitab-kitab fiqh yang berbeda-beda.
Begitu banyak kaidah-kaidah yang mengatur Islam secara kompleks, dengan didukung fiqh yang sangat toleran terhadap perkembangan zaman, Syari’at Islam begitu mudah dijalankan dalam menata kehidupan di dunia. Atas dasar itu dalam mewujudkan kepastian hukum baik dibidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum yang tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 Tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dimulai dengan inilah dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama’, melakukan lokakarya dan hasil kajian, menelaah kitab-kitab dan studi banding dengan negara-negara lain. Setelah data-data terkumpul dan diolah dan menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden pada tanggal 14 Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
Kebutuhan hukum Islam yang sangat mendesak, nampaknya Kompilasi Hukum Islam belum juga terbentuk sebagai undang-undang, sehingga muncullah Inpres. (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 (tanggal 19 Juni 1991) tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dengan diikuti SK. Mahkamah Agung No. 154 Tahun 1991 yang intinya mengajak seluruh jajaran Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi Hukum Islam yang berisikan hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai pedoman penyelesaian masalah-masalah hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat.
B. Hukum Formil Peradilan Agama
Kata formil berarti “bentuk” atau “cara”, maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk dan kebenaran cara. Oleh sebab itu dalam beracara di muka pengadilan tidaklah cukup hanya mengetahui materi hukum saja tetapi lebih dari itu, harus lebih mengetahui dari bentuk dan cara yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Keterikatan bentuk dan cara ini antara para pencari keadilan dan penegak hukum haruslah dikuatkan, sehingga dalam menjalankan beracara tidak bisa semaunya dan seenaknya.
Sejak masa Pemerintahan Belanda telah dibentuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan Stbl. 1882 No. 152jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah Kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957. akan tetapi dalam kesemuanya itu tidak tertulis peraturan hukum acara yang harus digunakan hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga dalam mengadili para hakim mengambil intisari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fiqh meskipun dalam penerapannya berbeda dalam putusan pengadilan satu dengan pengadilan agama lainnya. Sehingga sampai sekarang sumber hukum acara Peradilan Agama di Indonesia sama dengan Peradilan Umum yang berlaku.
Ketentuan hukum acara Peradilan Agama mulai ada sejak lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perwawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya. Baru berlaku sejak diterbitkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya mengatur Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, serta hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Hukum Acara Peradilan Umum untuk daerah Jawa-Madura adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR), di luar Jawa-Madura Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg), maka kedua aturan ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Misalnya pembebanan biaya perkara pada pemohon/penggugat dengan alasan syiqaq, li’an dan ketentuan lainnya.

Minggu, 12 Desember 2010

Kewenangan Peradilan Agama

Adapun kewenangan mengadili badan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua) kewenangan yaitu:
1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Yang menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama adalah:
Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. InfaqShadaqoh
h. Ekonomi Syari’ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
2. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”.

Jumat, 10 Desember 2010

Upaya Hukum Peradilan Negeri

Upaya Hukum, adalah sarana yang disediakan bagi pihak yang merasa dirugika oleh putusan hakim. Upaya hukum ini harus di gunakan dalam batas waktu yg ditentukan & jika batas waktu itu telah lewat, maka pihak yang seharusnya menggunakan upaya hukum itu di anggap telah melepaskan hak atau kepentingannya.
Upaya hukum di bagi atas :a) Upaya hukum biasa, yang terdiri dari:
1. Verzet terhadap Verstek, artinya suatu tindakan untuk melakukan perlawanan terhadap ptusan hakim yang dijatuhkan tanpa pernah dihadiri oleh tergugat sekalipun telah dipanggil secara patut. Patut yang dmaksud oleh UU biasanya diserahkan kepada hakim yg mengadili perkara yang diputuskan dgn verstek. Artinya oleh hakim yg bersangkutan dapat saja memanggil pihak tergugat 2X atau lebih. Verzet sebagai upaya hukum biasa, pelaksanaannya diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan Verstek.
2. Banding, suatu upaya yg disediakan bagi pihak yang mersa dirugikan atas adanya putusan pengadilan negeri yang meminta dilakukan pemeriksaan lewat pwngadilan tinggi, adapun batas waktu yang tersedia bagi pihak yang berkepentingan adalah empat belas hari setelah Pengadilan Negeri membacakan putusannya, jika para pihak hadir dalam pembacaan putusan, akan tetapi jika pihak yang dirugikan oleh putusan Pengadilan negeri atau setingkat dengan PN tdk hadir pada saat itu maka waktu yang tersedia adalah empat belas hari setelah pemberitahuan putusan kepadanya.
3. Kasasi, adalah sarana yang tersedia bagi pihak yang berkepentingan, yang merasa dirugikan oleh putusan PT, adapun batas waktu yang tersedia untuk menggunakan upaya hukum kasasi adalah empat belas hari terhitung sejak hari diterimanya pemberitahuan ptusan pengadilan. Dalam hal mengajukan atau menyatakan kasasi, harus disertai dengan memory kasasi, artinya memori kasasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon kasasi, karna hakim agung sangat memerlukan tes hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan PT yang sesungguhnya menjadi keberatan pemohon kasasi.

b) Upaya hukum luar biasa, yang terdiri dari:
- Penijauan kembali, yaitu suatu upaya dari pihak yang merasa dirugikan oleh putusan yang berkekuatan hukum pasti dengan alasan2 sebagaimana yang diatur dalam UU No.19 ttg Mahkamah Agung.
- Perlawanan pihak ke-3 = Derden Verzet.
Adalah suatu upaya hukum yang berusaha untuk mementahkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum pasti dengan menempatkan tergugat dan penggugat sebagai terlawan atau diposisikan sebagai tergugat.

Selasa, 07 Desember 2010

Produk Peradilan Agama

Produk dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Putusan
2. Penetrapan, dan
3. Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bntuk tertulis dan diperoleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair) (lihat penjelasan pasal 60 UU-PA).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Suatu putusan atau penetapan harus dikonsep terlebih dahulu paling tidak 1 (satu) minggu sebelum diucapkan dipersidangan untuk menghindari adanya perdebatan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis (Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1/1962 tanggal 7 Maret 1962).
Selain itu, perlu diktahui pula bahwa hakim juga mengeluarkan penetapan-penetapan lain yang bersifat teknis administrasi yang dibuat bukan sebagai produk sidang, misalnya: penetapan hari sidang, penetapan perintah pemberitahuan isi putusan dan sebagainya. Semua itu bukan produk sidang dan tidak pula diucapkan dalam sidang terbuka, serta tidak memakai title “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Suatu Penetapan
Untuk membuat penetapan, sama dengan membuat putusan hanya saja tidak perlu dengan judul duduknya perkara dan tentang pertimbangan hokum. Demikian pada untuk membuat salinannya, sama dengan salinan putusan.
Tentang penetapan terjadinya ikrar talak ex pasal 71 ayat 29 UU No. 1/1989 dibuat sebagai berikut:
- Dibuat segera penetapan biasa sebagai produk siding (ada kalimat Basmalah dan Demi Keadilan dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum).
- Dibuat berdasarkan BAP penyaksian ikrar talak.
- Nomor penetapan sama dengan nomor perkara.
- Tanggal penetapan sama dengan tanggal ikrar talak dan BAP ikrar talak.
- Tangga penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak (PHSPIT), tanggal sidang yang ditetapkan dalam PHSPIT, dan tanggal ikrar talak dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan (kolom 22,23 dan 24).
- Penetapan ini sebagai dasar dikeluarkannya Akta Cerai.
Serat penetapan/putusan dan salinannya harus diketik secara rapid an bersih dengan bentuk yang lazim berlaku dilingkungan peradilan. Dalam pengetikan putusan/penetapan dan salinannya tidak boleh ada penghapusan dengan Tipp Ex misalnya. Segala kesalahan pengetikan harus dibatalkan dengan cara renvoi.
Akta Perdamaian
- Dibuat berdasarkan pasl 154 R.Bg/130 HIR.
- Dengan judul AKTA PERDAMAIAN dan dengan nomor yang sama dengan nomor perkara.
- Ditulis hari dan tanggal sidang perdamaian, dimana para pihak menghadap.
- Ditulis identitas dan kedudukan para pihak.
- Ditulis bahwa mereka bersepakat mengakhiri sengketa secara damai.
- Ditulis lengkap dan rinci isi perdamaian.
- Isi perdamaian dinyatakan sebagai putusan hakim, dengan judul PUTUSAN dan kalimat Basmalah serta title Demi Keadilan.
- Ditulis amar putusan “MENGADILI”
“Menyatakan bahwa telah tercapainya perdamaian antara kedua pihak”.
“Menghukum kedua belah pihak untuk mentaati persetujuan yang telah dimufakati tersebut diatas”.
“Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara”
- Ditulis hari, tanggal dijatuhkannya putusan, serta majelis yang memutuskan..
- Diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh majelis tersebut dan para pihak.
- Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang dihariri oleh majelis tersebut dan para pihak.
- Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang bersidang dengan bermaterai Rp. 2.000,-.
- Kekuatan hukum Akta Perdamaian sama dengan putusan.

Kekuatan Putusan hakim
Putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:
- Kekuatan mengikat
- Kekuatan pembuktian
- Kekuatan eksekutorial

Kekuatan Mengikat
- Artinya putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu.
- Para pihak tunduk dan menghormati putusan itu
- Terikatnya para pihak kepada putusan hakim itu, baik dalam arti positif maupun negative (pasal 197, 1920 BW, 134 Rv)
- Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicara preveritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan
- Mengikat dalam arti negative, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama = nebis in indem, (pasal 134 Rv)
- Putusan hakim yang telah memperoleh kakuatan hokum tetap tidak dapat dirubah, sekalipun dengan upaya hokum luarbiasa (yaitu Request civil dan derdent verzet)
- Segala pertimbangan hakim yang dijadikan dasar putusan serta amar putusan (dictum) merupakan suatu kesatuan dan mempunyai kekuatan mengikat.
- Sedang mengenai hasil konstatiring hakim (penetapan) mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Kekuatan Pembuktian
- Artinya dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu
- Putusan hakim menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat didalamnya
- Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu (tindak pidana) pasal 1918 dan 1919 BW
- Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu
- Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pila (nebis idem)

Kekuatan Eksekutorial
- Yakni kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara
- Setiap putusan harus memuat title eksekutorial, yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”
- Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7/1989 maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri tindak eksekusi atas putusan yang dijatuhkannya itu. Tidak diperlukan lagi lembaga pengukuhan dan fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri
- Sesuatu putusan akan mempunya kekuatan hokum tetap apabila, terhadap putusan tersebut, masa upaya hokum yang ditetapkan menurut undang-undang telah habis dan tidak dimintakan upaya hokum dalam masa tersebut
Yang dimaksud upaya hokum disini ialah upaya hokum biasa yaitu verzet, banding, atau kasasi.


Senin, 06 Desember 2010

Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.
Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.

Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:
1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum);
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004;
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947;
7. PP Nomor 9 Tahun 1975;
8. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering);
9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
10. Surat Edaran Mahkamah Agung;
11. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
12. Dan lain-lain.

Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987;
8. Yuriprudensi;
9. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih;
10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.

Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Agama :
a. Peradilan/hakim bersipat pasif.
b. Mendengar pihak-pihak berperkara di muka pengadilan.
c. Peradilan Agama memutus perkara berdasarkan hukum Islam. (Pasal 2 dan 49 UU No.3 Tahun 2006).
d. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanir rahim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989)
e. Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 57 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989).
f. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989).
g. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya tiga orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera sidang. (Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UU No.4/2004).
h. Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Psl. 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
i. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. (Pasal 67 hurup b dan pasal 80 hurup b UU No.7/1989) akan tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan dilakukan dengan terbuka untuk umum (Pasal 60 UU No.7/1989 jo. Psl. 20 UU No.4/2004).
j. Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004).
k. Dan lain-lain (Selanjutnya lihat Mukti Arto : 1995 : 10).