Hukum Acara Peradilan Agama
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.
Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:
1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum);
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004;
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947;
7. PP Nomor 9 Tahun 1975;
8. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering);
9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
10. Surat Edaran Mahkamah Agung;
11. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
12. Dan lain-lain.
Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987;
8. Yuriprudensi;
9. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih;
10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.
Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Agama :
a. Peradilan/hakim bersipat pasif.
b. Mendengar pihak-pihak berperkara di muka pengadilan.
c. Peradilan Agama memutus perkara berdasarkan hukum Islam. (Pasal 2 dan 49 UU No.3 Tahun 2006).
d. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanir rahim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989)
e. Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 57 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989).
f. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989).
g. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya tiga orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera sidang. (Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UU No.4/2004).
h. Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Psl. 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
i. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. (Pasal 67 hurup b dan pasal 80 hurup b UU No.7/1989) akan tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan dilakukan dengan terbuka untuk umum (Pasal 60 UU No.7/1989 jo. Psl. 20 UU No.4/2004).
j. Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004).
k. Dan lain-lain (Selanjutnya lihat Mukti Arto : 1995 : 10).
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.
Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:
1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum);
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004;
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947;
7. PP Nomor 9 Tahun 1975;
8. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering);
9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
10. Surat Edaran Mahkamah Agung;
11. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
12. Dan lain-lain.
Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987;
8. Yuriprudensi;
9. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih;
10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.
Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Agama :
a. Peradilan/hakim bersipat pasif.
b. Mendengar pihak-pihak berperkara di muka pengadilan.
c. Peradilan Agama memutus perkara berdasarkan hukum Islam. (Pasal 2 dan 49 UU No.3 Tahun 2006).
d. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanir rahim” dan diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989)
e. Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 57 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989).
f. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989).
g. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya tiga orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera sidang. (Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UU No.4/2004).
h. Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Psl. 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
i. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. (Pasal 67 hurup b dan pasal 80 hurup b UU No.7/1989) akan tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan dilakukan dengan terbuka untuk umum (Pasal 60 UU No.7/1989 jo. Psl. 20 UU No.4/2004).
j. Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004).
k. Dan lain-lain (Selanjutnya lihat Mukti Arto : 1995 : 10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar